Senin, 10 Januari 2011

Jual Beli

1. Ada yang disebut pertukaran (al-mubâdalah), ada yang disebut jual beli (al-bay’) dan ada pula yang disebut sewa menyewa (al-ijârah).

2. Pertukaran oleh Islam dimutlakkan boleh terjadi diantara barang, tenaga dan manfaat/jasa selama perkara-perkara itu tidak haram. Maka Anda boleh mempertukarkan satu atau dua mobil dengan sebuah rumah. Anda boleh mempertukarkan mobil dengan menempati rumah beberapa bulan yang tertentu.

Anda juga boleh mempertukarkan kerja Anda satu hari atau satu bulan dengan sejumlah uang tertentu. Boleh juga Anda mempertukarkan kerja Anda dalam hitungan hari, bulan atau tahun dengan rumah atau dengan mobil …

Artinya boleh saja Anda mempertukarkaan tenaga dengan harta atau barang atau manfaat/jasa selama perkara-perkara tersebut -seperti yang telah kami katakan- bukan barang yang haram, bukan manfaat/jasa yang haram dan bukan tenaga dalam aktivitas yang haram, dan selama suka sama suka ada di situ.

3. Jual beli merupakan satu jenis dari pertukaran tersebut. Jual beli adalah pertukaran harta dengan harta. Karena itu pertukaran apapun antara harta dengan harta, seperti antara uang dengan uang atau uang dan barang, maka itu merupakan jual beli dan terhadapnya berlaku hukum-hukum jual beli.

4. Sedangkan ijarah adalah jenis lain dari pertukaran. Ijarah adalah akad atas manfaat dengan mendapat kompensasi. Kompensasi itu kadang berupa harta, dan kadang berupa manfaat. Boleh saja Anda bekerja satu hari atau satu bulan dengan kompensasi sejumlah tertentu uang, atau barang seperti gandum, kurma atau … Demikian pula boleh saja Anda bekerja satu hari atau satu bulan dengan kompensasi menempati rumah satu bulan, misalnya. Begitulah.

Jadi apa yang berupa pertukaran antara manfaat dan barang atau harta maka itu merupakan ijarah dan terhadapnya berlaku hukum-hukum ijarah.

5. Jika kita mengetahui hal itu, maka mudah bagi kita memahami apa yang dinyatakan di Nizhâm al-Iqtishâdî dan yang dinyatakan di asy-Syakhshiyah juz 2 sebagai berikut:

a. Yang dinyatakan di Nizhâm al-Iqtishâdî adalah bab uang. Maka Nizhâm al-Iqtishâdî menyebutkan pertukaran secara umum dan kebolehannya terjadi antara barang, tenaga dan manfaat/jasa … Kemudian sampai pada bahwa satuan pertukaran moneter di dalam Islam yaitu emas dan perak.

Jadi pembahasan dalam bab uang itu adalah tentang pertukaran, dan itu benar. Yaitu pertukaran itu terjadi di dalam harta, barang, dan tenaga.

b. Yang dinyatakan di asy-Syakhshiyah juz 2 adalah dalam bab ijarah untuk membedakan antara ijarah dan jual beli. Maka asy-Syakhshiyah juz 2 berbicara tentang satu jenis dari pertukaran secara umum, dimana dua pihaknya adalah (harta) dan (harta) dan itu yang disebut jual beli, dan itu memiliki hukum-hukum tentangnya. Dan berbicara tentang satu jenis lain dari pertukaran secara umum, dimana dua pihaknya adalah (manfaat atau tenaga) dan (harta), atau (manfaat dan tenaga) dan (manfaat dan tenaga) dan itu yang disebut ijarah.

Jadi pembahasan tersebut adalah tentang jenis-jenis pertukaran. Sebagiannya disebut jual beli dan sebagian yang lain disebut ijarah. Semua itu dinyatakan di bab al-ijârah.

c. Dengan demikian, apa yang dinyatakan di Nizhâm al-Iqtishâdî dan apa yang dinyatakan di asy-Syakhshiyah juz 2, masing-masing adalah benar dalam babnya.

d. Akan tetapi, kerancuannya adalah dalam contoh yang dipaparkan di Nizhâm al-Iqtishâdî ketika membahas pertukaran dengan lafazh (membeli -asy-syirâ`). Yaitu ungkapan “… dan boleh membeli barang dengan kerja kepada pemiliknya satu hari …“. Yang dimaksud adalah “mempertukarkan barang dengan kerja satu hari kepada pemilik barang itu” sebab pembahasannya adalah tentang pertukaran. Andai dinyatakan demikian niscaya kerancuan itu hilang. Sebab jenis pertukaran seperti itu dalam pandangan kita ada dalam bab ijarah dan terhadapnya berlaku hukum-hukum ijarah bukan hukum-hukum jual beli. Jadi upah laki-laki yang bekerja satu hari itu adalah barang tersebut. Terhadap kondisi ini tidak berlaku hukum-hukum jual beli.

Sementara itu, jual beli secara bahasa digunakan untuk meyebut pertukaran, sebagaimana yang ada di asy-Syakhshiyah juz 2 halaman 284 pada awal pembahasan jual beli (jual beli secara bahasa artinya adalah pertukaran secara mutlak dan ia adalah lawan dari membeli (asy-syirâ`) …). Akan tetapi secara syar’i jual beli merupakan satu jenis dari pertukaran, yaitu pertukaran harta dengan harta, seperti yang dinyatakan di asy-Syakhshiyah juz 2 setelah ungkapan sebelumnya (sedangkan secara syar’i, jual beli adalah pertukaran harta dengan harta dalam bentuk pertukaran kepemilikan yang dilakukan suka sama suka ..).

Karena itu, untuk menghilangkan kerancuan tersebut kami akan mengoreksi kalimat tersebut seperti apa yang telah kami sebutkan di atas. Yaitu sebagai ganti (dan boleh membeli barang dengan kerja satu hari kepada pemiliknya), kami akan gantikan dengan kalimat berikut : (dan boleh mempertukarkan barang dengan kerja satu hari kepada pemiliknya).

Hal itu karena yang benar dalam pandangan kami bahwa jual beli secara syar’i adalah (pertukaran harta dengan harta) seperti yang dinyatakan dalam definisi di asy-Syakhshiyah juz 2 halaman 284 yang telah kami sebutkan diatas.

Perlu diketahui bahwa ada sebagian fukaha yang memasukkan di dalam jual beli itu pertukaran manfaat, tenaga dan barang dengan syarat-syarat tertentu dan tidak terbatas pada pertukaran harta dengan harta saja. Akan tetapi yang rajih dalam pandangan kami adalah apa yang telah kami sebutkan.

Definisi ijarah adalah akad atas manfaat dengan mendapat kompensasi. Dan manfaat di sini yang dimaksudkan adalah manfaat yang bersifat temporer. Artinya pemenuhan manfaat itu terjadi dengan syarat-syarat dan tata cara tertentu yang menjadikan manfaat itu bersifat temporer dengan batasan waktu tertentu. Misalnya, sewa menyewa rumah untuk tempat tinggal selama satu tahun, artinya pihak yang menyewakan memenuhi manfaat yang bersifat temporer yaitu selama jangka waktu tertentu.

Sedangkan manfaat tanah kharajiyah, meskipun fisik tanah itu menjadi milik kaum muslim, akan tetapi manfaat tersebut menjadi milik pemilik tanah itu secara terus menerus. Karena itu, dibenarkan terjadi jual beli di dalamnya dan juga sesuai dengan hukum-hukum jual beli. Dalil hal itu adalah ijmak sahabat ridhwanalLâh ‘alayhim atas hukum yang diambil dari perbuatan Umar dalam hal tanah kharajiyah.

Di dalam asy-Syakhshiyah juz 2 halaman 244 baris ke-9 dinyatakan sebagai berikut: (… hanya saja bahwa yang diwariskan dalam hal tanah kharajiyah tidak lain adalah manfaatnya yang bersifat terus menerus -manfa’atuhâ ad-dâ`imah- sementara fisiknya tidak diwariskan karena fisiknya adalah milik seluruh kaum muslim. Adapun manfaatnya maka Umar bin al-Khaththab ra menyetujui para sahabatnya untuk memiliki manfaatnya yang bersifat terus menerus sampai akhir zaman … Dan manfaat tersebut dimiliki dan diwariskan. Pemilik manfaat itu berhak melakukan semua bentuk tasharruf terhadapnya berupa jual beli, rahn, hibah, washiyat dan tasharuf-tasharruf lainnya). Dan di buku yang sama halaman 245 baris ke-15 dan seterusnya dinyatakan sebagai berikut: (siapa saja yang memiliki manfaat tanah, ia berhak untuk menjual manfaat tersebut dan mengambil harganya karena manfaat tersebut telah dijual dan ia berhak atas harganya). Semua itu tentang manfaat yang bersifat terus menerus karena membahas tentang manfaat tanah kharajiyah.

Ringkasnya:

  • Pertukaran boleh dilakukan dalam harta, barang, tenaga dan manfaat selama semua itu mubah dan suka sama suka ada di situ.
  • Pertukaran lebih luas dari jual beli dan dari ijarah. Jika pertukaran itu antara harta dengan harta maka itu adalah jual beli. Dan jika pertukaran itu antara harta dan manfaat dan tenaga maka itu adalah ijarah.
  • Pertukaran manfaat yang bersifat terus menerus, terhadapnya bisa diberlakukan hukum-hukum jual beli, seperti dalam hal tanah kharajiyah.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar